Hos Rico

Sabtu, Desember 06, 2008

Moneytheisme

Daniel C.M dan Maguire dengan tepat melukiskan bahwa zaman ini adalah zaman agama pasar. Cirinya yang terpenting adalah manusia memuja uang sehingga terbentuk moneytheisme. Karena itu, selain memuja Tuhan Yang Maha Esa, manusia juga memuja uang, sehingga monotheisme berpadu dengan moneytheisme. Berkenaan dengan itu maka manusia berkembang menjadi homo minimalis, yang bercirikan ironis (homo ironia), skizofrenik, dan fatalis (homo fatalis). Dalam kondisi ini manusia tidak memiliki pijakan asas moralitas yang kokoh sehingga sering berperilaku kontradiktif, karena terbuai oleh hasrat dan keinginan memiliki, yakni memiliki uang, kekuasaan, kejayaan, dan lain-lain.

Dengan demikian maka tidak mengherankan jika laki-laki yang beruang menjadi berkuasa, sehingga bisa membeli apa pun termasuk tubuh ABG. Sebaliknya, laki-laki lain yang tidak beruang, dengan mudah bisa menjual ABG dengan tujuan mendapatkan uang secara instan. Begitu pula wanita, tanpa empati menjual sesamanya, juga untuk mendapatkan uang secara instan. ABG pun bisa jadi menyerah kepada kehendak si penjual maupun konsumen, karena mereka juga tertarik pada uang secara instan agar bisa merayakan hasrat, merayakan konsumerisme, dan merayakan citra sebagaimana yang lazim berlaku pada ABG.

Namun, tidak menutup pula kemungkinan bahwa perilaku ABG tidak semata-mata karena hasrat memiliki uang secara instan, melainkan mengandung pula unsur kekerasan, yakni kekerasan fisik, psikologis, kultural, dan struktural. Hal ini terkait dengan hubungan dekat (bapak-anak buah, patron-klen) antara ABG dan si penjual maupun laki-laki yang mengkonsumsinya. Kondisi ini mengakibatkan ABG dengan mudah mengikuti kehendak yang menjual dan atau yang mengkosumsi tubuhnya, karena terkait dengan nilai kuasa dan nilai sosial. Apalagi adanya kepandaian mempermainkan erotika pada pria yang mengkonsumsi tubuhnya, lalu dibumbui dengan philo (cinta) pada kedua belah pihak, maka rasa takut dikalahkan oleh asmara, sehingga ABG menyerah kepada keadaan. Dengan demikian, pengkonsumsian tubuh ABG secara mudah dilabeli dalil ''suka sama suka''.

Pengkonsumsian tubuh ABG lazim dilakukan di tempat tertentu, misalnya hotel, losmen, dan lain-lain. Sebab, pada lokasi ini juga berlaku ideologi patriarki dan agama pasar maupun moneytheisme. Apalagi jika pegawai/pemilik penginapan tahu siapa laki-laki yang membawa ABG (pejabat, mantan pejabat) atau merupakan langganan sehingga mereka bersifat permisif. Kepermisifan ini dilandasi oleh pemikiran bahwa laki-laki wajar memakan ''daun muda'', dan apa pun yang mereka lakukan di dalam kamar bukan urusannya, karena yang dipentingkan adalah masukan finansial dan penanaman modal sosial. Modal sosial kelak bisa diinvestasikan menjadi modal ekonomi dengan memperalat pejabat/mantan pejabat untuk kepentingan usahanya. Mereka tidak akan menolak, karena pemilik/pegawai penginapan banyak tahu ulahnya.

Apa yang Dilakukan?

Kasus kekerasan seksual ABG merupakan pelajaran menarik bagi keluarga yang memiliki ABG. Orangtua mesti menyadari bahwa era agama pasar dengan moneytehisme-nya yang berlanjut pada homo minimalis, mengakibatkan orang dengan mudah berperilaku menyimpang. Siapa pun orangnya, karena terdorong oleh keinginan merayakan hasrat (libido), maka dengan uang dan atau kekuasaannya, secara mudah bisa mengkonsumsi tubuh ABG. Begitu pula seseorang yang dekat dengan ABG (patron-klen) dengan mudah bisa menjual tubuh ABG guna merayakan hasratnya, yakni hasrat memiliki uang guna merayakan konsumerisme dan wajahisme. Karena itu, orangtua tidak boleh menyerahkan sepenuhnya sang ABG kepada orang lain, melainkan harus disertai dengan kontrol sosial yang berkelanjutan. Orangtua tidak bisa sepenuhnya berpegang pada modal sosial, yakni kepercayaan, karena kasus kekerasan seksual ABG di Karangasem menunjukkan bahwa homo mininimalis dengan mudah bisa menyalahgunakan kepercayaan guna memenuhi hasrat yang mereka miliki.

Pengawasan paling efektif tidak terletak pada orang luar (orangtua, polisi, dan lain-lain), melainkan pengawasan yang bersifat internal, yakni ABG mengawasi dirinya sendiri. Orang harus berhati-hati, kepada siapa pun, karena kuatnya keinginan seseorang untuk merayakan hasrat, konsumerisme, dan wajahisme, maka tidak menutup kemungkinan bahwa orang yang dipercayai bisa berubah menjadi harimau yang siap menerkam kita.

Dalam konteks ini tentu bukan berarti kita tidak mempercayai semua orang, sehingga orangtua mengurung anaknya di rumah, atau ABG tidak bergaul dengan siapa pun, melainkan tetap terbuka, dengan berlandaskan pada penanaman kepercayaan, disertai dengan kehati-hatian. Investasi sosial yang disertai dengan kehati-hatian, tidak bisa pula dilepaskan dari bagaimana kita menanamkan hakikat manusia sebagai makhluk memiliki dan menjadi. Pemberlakuan agama pasar yang disertai dengan moneytheisme guna merayakan hasrat, konsumerisme, dan citra, acapkali mengakibatkan ABG ngin memiliki dan menjadi bukan secara faktual sesuai dengan kondisi sisi ekonominya melainkan selalu ingin memiliki dan menjadi seperti orang lain, yakni temannya yang kaya, bintang film, bintang iklan atau selebriti di TV. Pembentukan ABG yang betul-betul bercita-cita memiliki dan menjadi dirinya sendiri, bukan menjadi orang lain, merupakan tantangan besar bagi agen sosialisasi, terutama keluarga dan sekolah. Jika hal ini tidak tertangani secara baik, maka payung ideologi patriarki dan ideologi pasar, dengan mudah bisa melegitimasi pengkonsumsian tubuh ABG lewat pasar, baik secara sukarela maupun disertai dengan kekerasan.

Label:

posted by Hos Rico at 02.32

1 Comments:

terima kasih infonya..

Sel Agu 09, 12:31:00 PM WIB  

Posting Komentar

<< Home