Hos Rico

Rabu, Oktober 22, 2008

Wajah Pemimpin Indonesia

Apa yang dilakukan pemimpin Indonesia ketika menghadapi masalah bangsa? Pidato politik! Di atas podium yang anggun, di hadapan massa yang fanatik, dikelilingi para penasihat yang selalu setia, petinggi negeri menceramahi rakyat. Tak lupa pekik merdeka dan kibaran merah putih, untuk menunjukkan kentalnya keindonesiaan. Lalu, masalah dianggap telah selesai. Rakyat dianggap mudah dapat menerima.

Selesaikah? Ternyata tidak. Di jalanan rakyat terus menuntut, seolah tak tersentuh oleh pidato. DPR dan pemerintah dengan mengendap-endap memang mencoba merespons tuntutan masyarakat. Lalu secara setengah hati bersekongkol untuk menunda hanya kenaikan tarif telepon. Itulah buah dari DPR yang tak memiliki pimpinan yang tegar, dengan mudah diajak kompromi mengakali rakyat.

Pidato dan langkah politik gaya balsem tak menyurutkan kegelisahan massa. Rakyat tetap menuntut. Mereka berteriak agar kebijakan menaikan harga bahan bakar minyak, tarif dasar listrik, dan telepon dicabut total. Bila perlu diturunkan. Di seluruh pelosok rakyat geram dan merasakan beban hidup yang kian berat. Sedangkan pemogokan angkutan umum terjadi di sejumlah tempat.

Kegelisahan dan aksi massa bahkan merebak ke segala arah. "Indonesia siap dijual murah", "Segera dilelang kepulauan Nusantara", demikian sebagian teriakan para demonstran. Sebuah protes sinis atas penjualan aset-aset negeri. Unjuk rasa bahkan merambah ranah politik paling sensitif, menuntut pergantian kepemimpinan nasional.

Tapi denyut hati dan kegelisahan rakyat yang menggelora rupanya tak menyentuh kalbu para pemimpin negeri ini. Sedang para anggota DPR makin asyik dengan dirinya sendiri, sesekali beretorika politik. Mereka masih tetap berpidato dan berbasa-basi politik. Mereka yakin dengan isi pidatonya akan mengubah hati rakyat. Padahal, semestinya bukan hati rakyat yang harus mereka taklukkan, tapi hatinya sendiri. Hati para pemimpin negeri yang terlampau membatu. Hati yang telah menjadi buta, bisu, dan tuli atas derita rakyat.

Itulah hati para demagog. Hati para pemimpin yang gemar berpidato untuk orang banyak, tetapi tak pernah mempidatoi dirinya sendiri. Hati yang lincah beretorika politik. Hati yang selalu berbinar-binar kalau berhadapan dengan massa rakyat yang bersimpuh, tapi tak pernah hadir bersama derita rakyat selain mengatasnamakannya. Hati pemimpin yang kehilangan ruh yang shalih (jernih), selain sekadar seonggok darah yang membeku. Boleh jadi gumpalan darah itu bahkan telah digerogoti sejuta penyakit kronis, sehingga menjadi hati yang fasad (rusak).

Demagog menurut pujangga Adi Negoro (1953) adalah pemimpin rakyat yang pandai bicara dan pintar mengambil hati publik, tetapi perbuatannya tidak baik, dia bicara banyak tetapi kerjanya kosong. Pemimpin demagog memang gemar pidato, bahkan dengan berapi-api seperti Presiden Soekarno di masa silam. Untaian kata-katanya sarat utopia, memikat massa, tetapi seringkali terjerembab oleh mercusuar kedemagogannya. Lalu, yang menjadi pertaruhan adalah bangsa dan negara.

Pemimpin demagog suka beretorika di wilayah abu-abu. Sikap politiknya sering bergaya bunglon, agar aman di setiap cuaca. Politisi belut, begitulah kaum awam menjulukinya. Repotnya, model pemimpin dan politisi gaya diplomat semacam itu dianggap ideal dalam dunia politik Indonesia. Hingga para demagog kenes seperti itu tetap menguasai jagat politik negeri, meski tak begitu memihak hati rakyat.

Pemimpin demagog cenderung teatrikal. Gemar upacara-upacara di hadapan publik, sebagai ritual budaya untuk keagungan tahta. Senang dengan warna-warni simbol, yang melambangkan kebesaran. Cenderung menjaga jarak dengan rakyat untuk merawat wibawa, kendati selalu disimbolkan dan mengatasnamakan rakyat. Suka dipuja dan dimitoskan, sehingga tampak anggun di mata rakyat. Lahirlah citra pemimpin yang sakti mandraguna, mukti wibawa. Itulah pemimpin Indonesia yang ideal, kendati tak memberikan apapun yang konkret untuk seluruh anak negeri.

Pemimpin demagog akan merawat Negara Teater. Negara Teater, tulis Clifford Geertz, sarat dengan seremonial. Negara sekadar perlambang sang Raja. Segala upacara diselenggarakan sebagai media untuk kuasa sang Raja. Sedangkan rakyat sekadar objek dari alfabeta adikuasa Raja. Akibatnya, tahta kepemimpinan sekadar jadi klangenan, sekadar kursi empuk untuk pelampiasan kesenangan yang berkuasa. Tak peduli apakah negara dan pemimpin negara itu berfungsi nyata untuk menyejahterakan rakyat. Tak peduli apakah rakyat memiliki negara dan hidup nyaman dalam negara itu. Bahkan tak peduli apakah rakyat punya masa depan atau tidak, yang penting agar dirinya tetap memiliki masa depan untuk tetap bertahta.

Bagi para pemimpin demagog, yang penting adalah bahasa. Bahasa pidato menjadi segalanya. Bahasa sekadar perlambang. Bukan bahasa yang mengandung makna dan fungsi. Meminjam logika tokoh strukturalis Ferdinand de Saussure, kata atau bahasa bagi para demagog sekadar tanda (sign), yang kehilangan relasi “penanda” (the signifier) dan “tertanda” (the signified). Dengan kata lain, bahasa pidato sekadar bunyi fisik minus makna substansi. Kata tidak lagi menjadi signifiant, yaitu bunyi yang bermakna dan berguna. Maka pidato politik sekalipun tak akan mengubah apapun karena sekadar sebuah tabuhan belaka, yang tak menghasilkan tindakan-tindakan nyata untuk rakyat.

Pidato para demagog, karena itu, menjadi hampa dan mati. Tak membuahkan aktualisasi di dunia nyata. Dalam logika filsuf Ludwig Wittgenstein, boleh jadi para demagog menjadikan pidato sekadar language games. Pidato sekadar sejumlah permainan bahasa. Lewat bahasa dapat disampaikan beragam perintah, pernyataan, penggambaran, sampai pada do'a bahkan senda gurau dan sandiwara. Bagi para demagog, maka sandiwara itulah yang sering melekat dalam bahasa pidatonya. Padahal bahasa bagi Wittgenstein, haruslah bermakna. Bahasa adalah kata-kata yang kita pakai, yang bermakna jika bersambung dengan aktivitas.

Tapi tunggu dulu. Bahasa pidato yang hampa makna dan fungsi tindakan, boleh jadi di tangan para pemimpin kuasa dapat berubah menjadi alat hegemoni. Ketika petinggi negeri menyatakan bahwa keputusan menaikan harga bahan bakar minyak, tarif dasar listrik, dan telepon harus diambil meskipun pahit, bahasa tersebut mengandung maka hegemoni. Agar rakyat mau menerima keputusan pemerintah. Bahwa keputusan pemerintah itu benar dan tidak salah, sehingga tak akan pernah dicabut. Di situ pidato menjadi forum untuk membangun kesaksian otoritas sang penguasa. Bahasa yang semula tak bermakna untuk rakyat, diubah agar berguna untuk penguasa. Di situ para demagog membangun hegemoni kuasa.

Karena itu, para pemimpin demagog tak pernah risau dengan pidatonya. Mereka bahkan akan menjadikan pidato sebagai alat paling efektif untuk menghasung otoritas kekuasaan dan kepentingannya. Tak peduli jika dirinya terjebak pada ironi. Para demagog itu akan selalu puas diri. Mereka tak akan pernah risih mengatasnamakan rakyat kecil, meskipun tak pernah hidup apalagi sungguh-sungguh memperjuangkan rakyat kecil. Jika mengajak orang lain hidup sederhana, ajakan itu sungguh-sungguh untuk orang lain dan bukan untuk dirinya.

Celakanya, tidak sedikit rakyat di negeri ini suka demagogi dan para pemimpin demagog. Rakyat masih gemar simbol, upacara, dan berbagai perhiasan sosial yang kenes. Rakyat kita, masih mencintai para pemimpin selebriti. Tak peduli jika para pemimpin demagog dan selebriti itu sesungguhnya tak memihak rakyat atas derita dan beban hidup yang kian berat. Dan para pemimpin demagog itu paham betul bagaimana memanfatkan psikologi rakyat Indonesia yang romantis untuk memenuhi hasrat politiknya yang merah menyala.

Label:

posted by Hos Rico at 04.14

0 Comments:

Posting Komentar

<< Home